Minggu, 03 April 2016

makalah kaidah fikih tentang tijarah



MAKALAH
Dalil dan argumentasi tentang tijarah
Di ajukan sebagai tugas Qawa’id al-fiqhiyyah

Dosen pengampu
M. SOLIHIN, S.EI.,MSI


 oleh kelompok :1
windi pratama (14631053)
diah puspita sari(146310   )






Prodi PerbankanSyariah
JurusanSyariah dan Ekonomi Islam
SekolahTinggi Agama Islam Negeri(STAIN CURUP)

2015-2016
DAFTAR ISI

1.       BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................................

2.      BAB II (PEMBAHASAN)
a.       Pengertian Tijarah....................................................................................................

b.      Dalil Tentang Tijarah...........................................................................................................

c.       Kasus-kasus atau permasalahan, allah swt menghalalkan
jual beli dan melarang memakan harta manusia dengan cara bahtil,
 yaitu berniaga dengan cara gharar.........................................................................

3.      BAB III PENUTUP

Analisis........................................................................................................................

















BABI
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Dalam bermuamalah terdapat kaidah fiqh “hukum segala sesuatu adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya”. Implikasi dari kaidah ini adalah sangat terbukanya muamalah dalam hal mengikuti perkembangan zaman. Kemajuan  peradaban dan teknologi tentu akan membuat tata cara bermuamalah mengalami  perubahan. Sistem jual beli online, jual beli saham, kartu kredit, dan lainnya tentu tidak ada pada zaman dahulu. Salah satu kegiatan utama dalam muamalah adalah  berniaga (jual beli). Tulisan ini membahas bagaimana dan implikasi serta macam-macam konsep berniaga dalam Al-Quran. Hubungan sosial bentuk dari dalam kehidupan manusia adalah hubungan ekonomi.
Hubungan ekonomi ini dilakukan untuk memudahkan pemenuhan segala kebutuhan hidupnya. Manusia memerlukan bantuan orang lain, terutama dalam kehidupan modern di mana kehidupan manusia sudah mengarah pada spesialisasi profesi dan produksi. Dalam hubungan ekonomi kegiatan tukar menukar harta atau jasa merupakan sebuah fenomena yang lazim. Kegiatan tukar menukar terjadi dalam sebuah proses yang dinamakan transaksi. Secara hukum transaksi adalah bagian dari kesepakatan perjanjian, sedangkan perjanjian adalah bagian dari perikatan[1].
Hak dan kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan manusia. Ketika mereka berhubungan dengan  orang lain, maka
akan timbul hak dan kewajiban yang akan mengikat keduanya. Dalam jual beli ketika kesepakatan telah tercapai akan muncul hak dan kewajiban, yakni hak pembeli untuk menerima barang dan kewajiban penjual untuk menyerahkan barang atau kewajban pembeli untuk menyerahkan harga barang (uang) dan hak penjual untuk menerima uang Salah satu perwujudan dari muamalat yang disyari’atkan oleh Islam adalah jual beli. Jual beli yang diperbolehkan oleh Islam adalah jual-beli yang tidak mengandung unsur riba, maisír, dan garar. Setiap transaksi jual beli dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukun jual beli yang ditetapkan oleh syara’. Selain itu jual beli merupakan kegiatan bertemunya penjual dan pembeli, di dalamnya terdapat barang yang
diperdagangkan dengan melalui akad (ijabdan qabul).
Dengan demikian, keabsahan jual beli juga dapat ditinjau dari beberapa segi: pertama, tentang keadaan barang yang akan dijual. kedua, tentang tanggungan pada barang yang dijual yaitu kapan terjadinya peralihan dari milik penjual kepada pembeli. ketiga, tentang suatu yang menyertai barang saat terjadi jual beli[2].Selain itu akad jual beli, obyek jual beli dan orang yang mengadakan akad juga menjadi bagian penting yang harus pula dipenuhi dalam jual beli.






BAB II (PEMBAHASAN)



A.     Pengertian Tijarah


Arti Kata “tijarah” (ر ج ت ) dalam Al-Quran Kata tijarah secara bahasa merupakan mashdar (akar kata) bagi tajara –yatjuru. Tijarah dalam Al-Quran berarti perdagangan.Tijarah atau dagang menurut istilah fiqh adalah mengolah (mentasarrufkan) harta benda dengan cara tukar menukar untuk mendapatkan laba (keuntungan) dengan disertai niat berdagang[3].Yang dinamakan harta dagangan (tijarah) adalah harta yang dimiliki dengan akad tukar dengan tujuan untuk memperoleh laba dan harta yang dimilikinya harus merupakan hasil usahanya sendiri. Kalau harta yang dimilikinya itu merupakan harta warisan, maka ‘ulama mazhab secara sepakat tidak menamakannya harta dagangan[4].
Pembahasan tijarah dalam hal ini mencakup tentang jual beli menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu. Jual beli dalam bahasa Indonesia berasal dari dua kata, yaitu jual dan beli. Yang dimaksud dengan jual beli adalah berdagang, berniaga, menjual dan membeli barang[5]. Sedangkan dalam bahasa Arab, jual beli disebut dengan al-bay’(البيع)  yang berarti menjual, mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu.
Secara istilah terdapat perbedaan orientasi di antara para ulama dalam
mendefinisikan istilah tijarah sebagai berikut:
1.      Menurut ar-Raghib al-Asfahani
لِلرِّبْح طَلَبًا الْمَالِ رَأْسِ فِي التَّصَرُّفُ
“Tijarah adalah mengelola modal untuk mencari laba (keuntungan)”
2.      Menurut al-Jurjani
“Tijarah adalah ungkapan tentang membeli sesuatu untuk dijual karena (mencari)
laba”.
3.      Menurut Lois Ma’luf kata tijarah mencakup dua pengertian
الرِّبْح لِغَرْض وَالشَّرَاءُ البَیْعُ
Jual-beli dengan tujuan mencari laba”
Dan
 بِھِ یُتَّجَرُ مَا
Sesuatu yang diperdagangkan”.


B.     Dalil Tentang Tijarah

Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Beberapa ayat al-Qur’an yang menerangkan tentang jual beli, diantaranya dalam

1.      surat al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.7
(QS. Al-Baqarah: 275)
2.      Juga terdapat dalam surat an-Nisa>’ ayat 29 yang artinya
Artinya: Orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An-Nisa>’: 29)

3.      Dasar hukum jual beli dalam sunnah Rasulullah SAW diantaranya adalah
hadis dari Rifa’ah yang berbunyi:
: قَالَ أَطْيَبُ؟ اَىُّالْكَسْبِ:سُئِلَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ.م . ص اللهِ رَسُوْلَ أَنَّ رَافِعٍ نِرِفَاعَةَبعَنْ
(الحاآم صححه بزاررواه)مَبْرُوْرٌ بَيْعٍ لُّوَ بِيَدِهِ الرَّجُلِ عَمَلُ

Artinya: Dari Rifa’ah bin Nafi’, bahwa Rasulullah saw pernah ditanya orang,“apakah usaha yang paling baik?” Ras}ulullah menjawab, “usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan tiap-tiap jual beli yang mabrur. (HR. Bazzar dan Hakim).

















C.     Kasus-kasus atau permasalahan, allah swt menghalalkan jual beli dan melarang memakan harta manusia dengan cara bahtil, yaitu berniaga dengan cara gharar.

Di dalam jual beli Rasulullah melarang jual beli yang  mengandung unsur garar karena dapat merugikan masing-masing pihak, seperti dalam hadis Nabi

الغرر بيع وعن الحصاة بيع عَنْ وسلم عليه اللهِ رسول نهى

Hadis nabi[6]

Karena jual beli garar mengandung tipu muslihat dan spekulasi yang akhirnya akan memudahkan seseorang untuk mencari keuntungan yang banyak dengan jalan yang batil Wahbah az-Zuhaili<dalam bukunyaal-Fiqh aL-Islamiwa’Adilatuhu menerangkan adanya jual beli yang dianggap batal dan tidak diperbolehkan dalam Islam dan menurut beberapa pendapat ulama dari berbagai mazhab seperti halnya jumhur yang tidak membolehkan jual beli barang yang tidak tampak (bai’ al- ma’dum), yang belum jelas sifat dan keadaannya.
1.       Gharar yang Dilarang terdiri dari tiga macam sebagaimana disebutkan Ibnu Taimiyah di dalam al-Fatawa al-Kubra (4/18) :
وَأَمَّا الْغَرَرُ، فَإِنَّهُ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ: الْمَعْدُومُ، كَحَبَلِ الْحَبَلَةِ، وَاللَّبَنُ، وَالْمَعْجُوزُ عَنْ تَسْلِيمِهِ: كَالْآبِقِ، وَالْمَجْهُولِ الْمُطْلَقِ، أَوْ الْمُعَيَّنِ الْمَجْهُولِ جِنْسُهُ، أَوْ قَدْرُهُ
“Adapun al-Gharar, dibagi menjadi tiga: (pertama) jual beli yang tidak ada barangnya, seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan, dan susunya, (kedua): jual beli barang yang tidak bisa diserahterimakan, seperti budak yang lari dari tuannya, (ketiga): jual beli barang yang tidak diketahui hakikatnya sama sekali atau bisa diketahui tapi tidak jelas jenisnya atau kadarnya “(Adil al-‘Azzazi di dalam  Tamam al-Minnah (3/305) juga menyebutkan hal yang sama)
Berikut ini rincian dari tiga macam jual beli gharar yang dilarang:
Pertama: Gharar karena barangnya belum ada (al-ma'dum).
Contoh dari jual beli al-ma’dum adalah apa yang terdapat dalam hadist Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya beliau berkata :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ
“Nabi shollallahu ‘alaihi wa  sallam melarang menjual anak dari anak yang berada dalam perut unta”. (HR Bukhari dan Muslim)
Kedua: Gharar karena barangnya tidak bisa diserahterimakan ( al-ma’juz ‘an taslimihi )  Seperti menjual budak yang kabur, burung di udara, ikan di laut, mobil yang dicuri, barang yang masih dalam pengiriman,
Ketiga: Gharar karena ketidakjelasan (al-jahalah) pada barang, harga dan akad jual belinya.
Contoh ketidakjelasan pada barang yang akan dibeli, adalah apa yang diriwayatkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah (dengan melempar batu) dan jual beli gharar.” (HR Muslim)
Contoh jual beli al-hashah adalah ketika seseorang ingin membeli tanah, maka penjual mengatakan: “Lemparlah kerikil ini, sejauh engkau melempar, maka itu adalah tanah milikmu dengan harga sekian.”
Termasuk dalam katagori ini adalah apa yang diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia berkata :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُنَابَذَةِ وَالْمُلاَمَسَةِ
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari Al-Munabadzah dan Al-Mulamasah”. (HR Bukhari dan Muslim)
Al-Munabadzah adalah seorang penjual berkata kepada pembeli: “Kalau saya lempar barang ini kepadamu maka wajib untuk dibeli”
2.      Bentuk Kedua: Gharar Yang Diperbolehkan
Jual beli gharar yang diperbolehkan ada empat macam: (pertama) jika barang tersebut sebagai pelengkap, atau (kedua) jika ghararnya sedikit, atau (ketiga) masyarakat memaklumi hal tersebut karena dianggap sesuatu yang remeh, (keempat) mereka memang membutuhkan transaksi tersebut.
Imam Nawawi menjelaskan hal tersebut di dalam Shahih Muslim (5/144):
“Kadang sebagian gharar diperbolehkan dalam transaksi jual beli, karena hal itu memang dibutuhkan (masyarakat), seperti seseorang tidak mengetahui tentang kwalitas pondasi rumah (yang dibelinya), begitu juga tidak mengetahui kadar air susu pada kambing yang hamil.  Hal – hal seperti ini dibolehkan di dalam jual beli, karena pondasi (yang tidak tampak) diikutkan (hitungannya) pada kondisi bangunan rumah yang tampak, dan memang harus begitu, karena pondasi tersebut memang tidak bisa dilihat. Begitu juga yang terdapat dalam kandungan kambing dan susunya.“ (lihat juga Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari, Kitab: al-Buyu’, Bab: Bai’ al-Gharar)
Beberapa contoh gharar lain yang diperbolehkan  :
  1. Menyewakan rumahnya selama sebulan. Ini dibolehkan walaupun  satu bulan kadang 28, 29, 30 bahkan 31 hari. 
  2. Membeli hewan yang sedang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina, kalau lahir sempurna atau cacat.
  3. Masuk toilet dengan membayar Rp. 2000,- padahal tidak diketahui jumlah air yang digunakan
  4. Naik kendaran angkutan umum atau busway dengan membayar sejumlah uang yang sama, padahal masing-masing penumpang tujuannya berbeda-beda.
Jual beli dengan gharar semacam ini dibolehkan menurut kesepakatan para ulama. Berkata Imam Nawawi di dalam al- Majmu’ Syarhu  al-Muhadzab, (9/311):
“Menurut kesepakatan ulama, semua yang disebut di atas diperbolehkan. Para ulama juga menukil ijma’ tentang bolehnya menjual barang-barang yang mengandung gharar yang sedikit.”   
Ibnu Qayyim di dalam Zadu al-Ma’ad (5/727) juga mengatakan: “Tidak semua gharar menjadi sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli.“ (Lihat juga Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra: 4/ 18)
3.      Bentuk Ketiga: Gharar yang Masih Diperselisihkan
Gharar yang masih diperselisihkan adalah gharar yang berada di tengah–tengah antara yang diharamkan dan yang dibolehkan, sehingga para ulama berselisih pendapat di dalamnya. Hal ini dikarenakan perbedaaan mereka di dalam menentukan apakah gharar tersebut sedikit atau banyak, apakah dibutuhkan masyarakat atau tidak, apakah sebagai pelengkap atau barang inti
Contoh gharar dalam bentuk ketiga ini adalah menjual wortel, kacang tanah, bawang, kentang dan yang sejenis yang masih berada di dalam tanah. Sebagian ulama tidak membolehkannya seperti Imam Syafi’I, tetapi sebagian yang lain membolehkannya seperti Imam Malik, IbnuTaimiyah (Majmu Fatawa: 29/33), Ibnu Qayyim (Zadu al-Ma’ad: 5/728) .
Penulis cenderung mendukung pendapat yang membolehkan tetapi dengan syarat bahwa penjual dan pembeli sama- sama mempunyai ilmu tentang barang-barang yang dijual tersebut, seperti apabila keduanya adalah petani yang mengetahui kwalitas wortel, bawang, kentang yang berada di dalam tanah dengan melihat kwalitas daunnya atau batangnya atau dengan cara yang lain. Ini seperti halnya seorang laki-laki yang melamar seorang perempuan dengan hanya melihat wajah dan kedua telapak tangannya. Walaupun ini masuk dalam katagori gharar, karena laki-laki yang melamar tidak melihat anggota badan yang tertutup dari perempuan yang dilamar, tetapi paling tidak, wajah dan kedua telapak tangan, biasanya sudah mewakili apa yang tertutup dan tidak bisa dilihat.















BAB III
PENUTUP

D.     ANALISIS

Pada dasarnya dalam transaksi muamalah jual beli hukumya boleh (mubah) kecuali ada dalil yang mengharamkannya,sebagaimana yang telah disepakati oleh mayoritas ulama fiqih mereka dengan menetapkan sebuah kaidah fiqhiyah, namun pada jual beli gharar terdapat dalil yang mengharamkan jual beli gharar karena jual beli tersebut mengandung unsur ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak.
Jual Beli Gharar atau dalam Ilmu Ekonomi  dikenal dengan ketidakpastian atau resiko dalam istilah Fiqh Muamalah adalah melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi, atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya. Menurut Ibnu taimiyah, gharar terjadi karena seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli dan terjadi karena adanya incomplete information. Incomplete information tersebut dialami oleh kedua belah pihak.
Jual Beli gharar dijelaskan dalam alquran pada surat Albaqarah ayat 188 yang artinya:
 Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.
Sedangkan Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Abu Kuraib menceritakan kepada kami, Abu Salamah mengabarkan kepada kami, dari Ubaidillah bin Umar, dari Abu Zinad, dari A'raj dari Abu Hurairah RA, ia berkata, "RasuluIIah SAW melarang jual-beli gharar dan hashaat."
Berdasarkan dalil diatas, telah jelas dijelaskan bahwa jual beli ghrara dilarang, dan rasulullah sendiri pun melarang jual beli gharar tersebut. Secara kajian ushul fiqih pun dijelaskan bahwa kemudhratan harus dihilangkan.
الضَرَرُيُزَالُ
Setiap perkara yang mendatangkan kemudharatan harus dihilangkan, ketidak pastian mendatangkan kemudharatan dan kemashlahatan mendatangkan manfaat. Begitupun dengan jual beli gharar, karena jual beli ini mengandung unsur ketidakpastian dalam beberapa hal, Allah dan Rasul-Nya pun melarang jual beli gharar dalam alquran dan hadits sebab jual beli tersebut dapat menghilangkan keberkahan dan dapat menimbulkan banyak kerugian baik pihak penjual maupun pembeli. Garis besarnya jual beli di bolehkan asal sesuai dengan ketentuan syariat islam















DAFTAR PUSTAKA


Al-Farmawi,  abd al-Hary. 1994. Metode Tafsir Mawdhu’iy, sebuah pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Al-khatan, Manna Khalil. 2004. Studi Ilmu-ilmu quran. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Azwar, Karim Adiwarman. 2012. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
hafizasharf. Islamic muamalat. Tersedia di:
pondok ngaji online. Tersedia di:
Tafsir alquran al karim. Tafsir albaqarah ayat 188-195.tersedia di:





[1] Muhammad dan Alimin, Etika dan Perlindungan Konsumen dalam Ekonomi Islam,cet.I, (Yogyakarta: BPFE Fakultas Ekonomi, 2004), hlm.153
[2] Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid(Ttp: Daral-Fikr, t.t), II.128-130

[3] M. Masykur Khoir,Abdulloh (ed), Risalatuz Zakat, h.60
[4] Wahbah Al-Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Maz|hab, ter. Agus effendi dan
Burhanudin h.163
[5] Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 32
[6] Imam Muslim, SahihMuslim, “Bab al-Buyu”, (Beirut: Dār al-Fikr,t.t), I: 658. Hadis Riwayat al-A’raj dari Abu Hurairah r.a