MAKALAH
Dalil
dan argumentasi tentang tijarah
Di
ajukan sebagai tugas Qawa’id al-fiqhiyyah
Dosen
pengampu
M.
SOLIHIN, S.EI.,MSI
oleh kelompok :1
windi
pratama (14631053)
diah
puspita sari(146310
)
Prodi
PerbankanSyariah
JurusanSyariah
dan Ekonomi Islam
SekolahTinggi
Agama Islam Negeri(STAIN CURUP)
DAFTAR
ISI
1. BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................................
2.
BAB II (PEMBAHASAN)
a.
Pengertian
Tijarah....................................................................................................
b.
Dalil Tentang Tijarah...........................................................................................................
c.
Kasus-kasus atau permasalahan, allah swt menghalalkan
jual beli dan
melarang memakan harta manusia dengan cara bahtil,
yaitu berniaga dengan cara gharar.........................................................................
3. BAB III
PENUTUP
Analisis........................................................................................................................
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
bermuamalah terdapat kaidah fiqh “hukum segala sesuatu adalah boleh kecuali ada
dalil yang melarangnya”. Implikasi dari kaidah ini adalah sangat terbukanya
muamalah dalam hal mengikuti perkembangan zaman. Kemajuan peradaban dan
teknologi tentu akan membuat tata cara bermuamalah mengalami perubahan.
Sistem jual beli online, jual beli saham, kartu kredit, dan lainnya tentu tidak
ada pada zaman dahulu. Salah satu kegiatan utama dalam muamalah adalah
berniaga (jual beli). Tulisan ini membahas bagaimana dan implikasi serta
macam-macam konsep berniaga dalam Al-Quran. Hubungan sosial bentuk dari dalam
kehidupan manusia adalah hubungan ekonomi.
Hubungan
ekonomi ini dilakukan untuk memudahkan pemenuhan segala kebutuhan hidupnya.
Manusia memerlukan bantuan orang lain, terutama dalam kehidupan modern di mana kehidupan
manusia sudah mengarah pada spesialisasi profesi dan produksi. Dalam hubungan
ekonomi kegiatan tukar menukar harta atau jasa merupakan sebuah fenomena yang
lazim. Kegiatan tukar menukar terjadi dalam sebuah proses yang dinamakan
transaksi. Secara hukum transaksi adalah bagian dari kesepakatan perjanjian,
sedangkan perjanjian adalah bagian dari perikatan[1].
Hak dan
kewajiban adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan manusia. Ketika mereka berhubungan dengan orang lain, maka
akan timbul hak dan kewajiban yang akan mengikat
keduanya. Dalam jual beli ketika kesepakatan telah tercapai akan muncul hak dan
kewajiban, yakni hak pembeli untuk menerima barang dan kewajiban penjual untuk
menyerahkan barang atau kewajban pembeli untuk menyerahkan harga barang (uang)
dan hak penjual untuk menerima uang Salah satu perwujudan dari muamalat yang
disyari’atkan oleh Islam adalah jual beli. Jual beli yang diperbolehkan oleh
Islam adalah jual-beli yang tidak mengandung unsur riba, maisír, dan garar.
Setiap transaksi jual beli dianggap sah apabila memenuhi syarat dan rukun jual
beli yang ditetapkan oleh syara’. Selain itu jual beli merupakan kegiatan
bertemunya penjual dan pembeli, di dalamnya terdapat barang yang
diperdagangkan dengan melalui akad (ijabdan qabul).
Dengan
demikian, keabsahan jual beli juga dapat ditinjau dari beberapa segi: pertama,
tentang keadaan barang yang akan dijual. kedua, tentang tanggungan pada barang
yang dijual yaitu kapan terjadinya peralihan dari milik penjual kepada pembeli.
ketiga, tentang suatu yang menyertai barang saat terjadi jual beli[2].Selain
itu akad jual beli, obyek jual beli dan orang yang mengadakan akad juga menjadi
bagian penting yang harus pula dipenuhi dalam jual beli.
BAB
II (PEMBAHASAN)
A.
Pengertian Tijarah
Arti Kata “tijarah” (ر ج ت ) dalam Al-Quran Kata tijarah secara bahasa merupakan
mashdar (akar kata) bagi tajara –yatjuru. Tijarah dalam Al-Quran berarti
perdagangan.Tijarah atau dagang menurut istilah fiqh adalah mengolah (mentasarrufkan)
harta benda dengan cara tukar menukar untuk mendapatkan laba (keuntungan) dengan
disertai niat berdagang[3].Yang
dinamakan harta dagangan (tijarah) adalah harta yang dimiliki dengan akad tukar dengan tujuan
untuk memperoleh laba dan harta yang dimilikinya harus merupakan hasil usahanya
sendiri. Kalau harta yang dimilikinya itu merupakan harta warisan, maka ‘ulama
mazhab secara sepakat tidak menamakannya harta dagangan[4].
Pembahasan tijarah dalam hal
ini mencakup tentang jual beli menukar suatu barang dengan barang yang lain
dengan cara yang tertentu. Jual beli dalam bahasa Indonesia berasal dari dua
kata, yaitu jual dan beli. Yang dimaksud dengan jual beli adalah berdagang,
berniaga, menjual dan membeli barang[5].
Sedangkan dalam bahasa Arab, jual beli disebut dengan al-bay’(البيع) yang berarti menjual,
mengganti dan menukar sesuatu dengan sesuatu.
Secara istilah terdapat perbedaan
orientasi di antara para ulama dalam
mendefinisikan
istilah tijarah sebagai berikut:
1. Menurut ar-Raghib al-Asfahani
لِلرِّبْح طَلَبًا الْمَالِ رَأْسِ فِي التَّصَرُّفُ
“Tijarah adalah mengelola modal untuk
mencari laba (keuntungan)”
2. Menurut al-Jurjani
“Tijarah adalah ungkapan tentang
membeli sesuatu untuk dijual karena (mencari)
laba”.
3. Menurut Lois Ma’luf kata tijarah
mencakup dua pengertian
الرِّبْح لِغَرْض وَالشَّرَاءُ البَیْعُ
“Jual-beli
dengan tujuan mencari laba”
Dan
بِھِ یُتَّجَرُ مَا
Sesuatu yang diperdagangkan”.
B.
Dalil Tentang Tijarah
Jual beli sebagai sarana
tolong menolong antara sesama umat manusia
mempunyai landasan yang kuat dalam
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Beberapa ayat al-Qur’an yang
menerangkan tentang jual beli, diantaranya dalam
1. surat
al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi:
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا
Artinya: Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.7
(QS. Al-Baqarah: 275)
2.
Juga terdapat dalam surat an-Nisa>’
ayat 29 yang artinya
Artinya: Orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An-Nisa>’: 29)
3.
Dasar
hukum jual beli dalam sunnah Rasulullah SAW diantaranya adalah
hadis dari Rifa’ah yang
berbunyi:
:
قَالَ أَطْيَبُ؟ اَىُّالْكَسْبِ:سُئِلَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ.م . ص اللهِ رَسُوْلَ أَنَّ
رَافِعٍ نِرِفَاعَةَبعَنْ
(الحاآم
صححه بزارﻟرواه)مَبْرُوْرٌ بَيْعٍ لُّﻛوَ بِيَدِهِ الرَّجُلِ عَمَلُ
Artinya: Dari Rifa’ah bin Nafi’, bahwa Rasulullah saw pernah
ditanya orang,“apakah usaha yang paling baik?” Ras}ulullah menjawab, “usaha seseorang
dengan tangannya sendiri dan tiap-tiap jual beli yang mabrur. (HR. Bazzar dan
Hakim).
C. Kasus-kasus atau permasalahan, allah
swt menghalalkan jual beli dan melarang memakan harta manusia dengan cara
bahtil, yaitu berniaga dengan cara gharar.
Di dalam jual beli Rasulullah melarang jual beli
yang mengandung unsur garar karena dapat
merugikan masing-masing pihak, seperti dalam hadis Nabi
الغرر بيع وعن الحصاة بيع عَنْ وسلم عليه اللهِ رسول نهى
Hadis nabi[6]
Karena jual
beli garar mengandung tipu muslihat dan spekulasi yang akhirnya akan memudahkan
seseorang untuk mencari keuntungan yang banyak dengan jalan yang batil Wahbah
az-Zuhaili<dalam bukunyaal-Fiqh aL-Islamiwa’Adilatuhu menerangkan adanya jual beli yang dianggap batal dan tidak
diperbolehkan dalam Islam dan menurut beberapa pendapat ulama dari berbagai
mazhab seperti halnya jumhur yang tidak membolehkan jual beli barang yang tidak
tampak (bai’ al- ma’dum), yang belum jelas sifat dan
keadaannya.
1. Gharar yang Dilarang terdiri dari tiga macam sebagaimana
disebutkan Ibnu Taimiyah di dalam al-Fatawa al-Kubra (4/18) :
وَأَمَّا الْغَرَرُ، فَإِنَّهُ ثَلَاثَةُ أَنْوَاعٍ: الْمَعْدُومُ، كَحَبَلِ الْحَبَلَةِ، وَاللَّبَنُ، وَالْمَعْجُوزُ عَنْ تَسْلِيمِهِ: كَالْآبِقِ، وَالْمَجْهُولِ الْمُطْلَقِ، أَوْ الْمُعَيَّنِ الْمَجْهُولِ جِنْسُهُ، أَوْ قَدْرُهُ
“Adapun al-Gharar, dibagi menjadi tiga: (pertama) jual beli yang
tidak ada barangnya, seperti menjual anak binatang yang masih dalam kandungan,
dan susunya, (kedua): jual beli barang yang tidak bisa diserahterimakan,
seperti budak yang lari dari tuannya, (ketiga): jual beli barang yang
tidak diketahui hakikatnya sama sekali atau bisa diketahui tapi tidak jelas
jenisnya atau kadarnya “(Adil al-‘Azzazi di dalam Tamam al-Minnah (3/305)
juga menyebutkan hal yang sama)
Berikut ini
rincian dari tiga macam jual beli gharar yang dilarang:
Pertama: Gharar karena barangnya belum ada (al-ma'dum).
Contoh dari
jual beli al-ma’dum adalah apa yang terdapat dalam hadist Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhuma bahwasanya beliau berkata :
نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ
“Nabi
shollallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual anak dari anak yang berada
dalam perut unta”. (HR Bukhari dan Muslim)
Kedua: Gharar karena barangnya tidak bisa diserahterimakan ( al-ma’juz ‘an
taslimihi ) Seperti menjual budak yang kabur, burung di udara, ikan
di laut, mobil yang dicuri, barang yang masih dalam pengiriman,
Ketiga: Gharar karena ketidakjelasan (al-jahalah) pada barang, harga dan
akad jual belinya.
Contoh
ketidakjelasan pada barang yang akan dibeli, adalah apa yang diriwayatkan Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“ Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli al-hashah (dengan melempar
batu) dan jual beli gharar.” (HR Muslim)
Contoh jual
beli al-hashah adalah ketika seseorang ingin membeli tanah, maka penjual
mengatakan: “Lemparlah kerikil ini, sejauh engkau melempar, maka itu adalah
tanah milikmu dengan harga sekian.”
Termasuk dalam
katagori ini adalah apa yang diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu
‘anhu, bahwa ia berkata :
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُنَابَذَةِ وَالْمُلاَمَسَةِ
“Sesungguhnya
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam melarang dari
Al-Munabadzah dan Al-Mulamasah”. (HR Bukhari dan Muslim)
Al-Munabadzah
adalah seorang penjual berkata kepada pembeli: “Kalau saya lempar barang ini
kepadamu maka wajib untuk dibeli”
2.
Bentuk Kedua: Gharar Yang
Diperbolehkan
Jual beli gharar yang diperbolehkan ada empat macam: (pertama) jika
barang tersebut sebagai pelengkap, atau (kedua) jika ghararnya sedikit,
atau (ketiga) masyarakat memaklumi hal tersebut karena dianggap sesuatu
yang remeh, (keempat) mereka memang membutuhkan transaksi tersebut.
Imam Nawawi
menjelaskan hal tersebut di dalam Shahih Muslim (5/144):
“Kadang
sebagian gharar diperbolehkan dalam transaksi jual beli, karena hal itu
memang dibutuhkan (masyarakat), seperti seseorang tidak mengetahui tentang
kwalitas pondasi rumah (yang dibelinya), begitu juga tidak mengetahui kadar air
susu pada kambing yang hamil. Hal – hal seperti ini dibolehkan di dalam
jual beli, karena pondasi (yang tidak tampak) diikutkan (hitungannya) pada
kondisi bangunan rumah yang tampak, dan memang harus begitu, karena pondasi
tersebut memang tidak bisa dilihat. Begitu juga yang terdapat dalam kandungan
kambing dan susunya.“ (lihat juga Ibnu Hajar di dalam Fathu al-Bari, Kitab:
al-Buyu’, Bab: Bai’ al-Gharar)
Beberapa contoh
gharar lain yang diperbolehkan :
- Menyewakan rumahnya selama sebulan. Ini dibolehkan walaupun satu bulan kadang 28, 29, 30 bahkan 31 hari.
- Membeli hewan yang sedang mengandung dengan adanya kemungkinan yang dikandung hanya seekor atau lebih, jantan atau betina, kalau lahir sempurna atau cacat.
- Masuk toilet dengan membayar Rp. 2000,- padahal tidak diketahui jumlah air yang digunakan
- Naik kendaran angkutan umum atau busway dengan membayar sejumlah uang yang sama, padahal masing-masing penumpang tujuannya berbeda-beda.
Jual beli
dengan gharar semacam ini dibolehkan menurut kesepakatan para ulama. Berkata
Imam Nawawi di dalam al- Majmu’ Syarhu al-Muhadzab, (9/311):
“Menurut
kesepakatan ulama, semua yang disebut di atas diperbolehkan. Para ulama juga
menukil ijma’ tentang bolehnya menjual barang-barang yang mengandung gharar
yang sedikit.”
Ibnu Qayyim di
dalam Zadu al-Ma’ad (5/727) juga mengatakan: “Tidak semua gharar menjadi
sebab pengharaman. Gharar, apabila ringan (sedikit) atau tidak mungkin dipisah
darinya, maka tidak menjadi penghalang keabsahan akad jual beli.“ (Lihat juga
Ibnu Taimiyah dalam al-Fatawa al-Kubra: 4/ 18)
3.
Bentuk Ketiga: Gharar yang Masih
Diperselisihkan
Gharar yang masih diperselisihkan adalah gharar yang berada di
tengah–tengah antara yang diharamkan dan yang dibolehkan, sehingga para ulama
berselisih pendapat di dalamnya. Hal ini dikarenakan perbedaaan mereka di dalam
menentukan apakah gharar tersebut sedikit atau banyak, apakah dibutuhkan
masyarakat atau tidak, apakah sebagai pelengkap atau barang inti
Contoh gharar dalam bentuk ketiga ini adalah menjual wortel, kacang tanah,
bawang, kentang dan yang sejenis yang masih berada di dalam tanah. Sebagian
ulama tidak membolehkannya seperti Imam Syafi’I, tetapi sebagian yang lain
membolehkannya seperti Imam Malik, IbnuTaimiyah (Majmu Fatawa: 29/33),
Ibnu Qayyim (Zadu al-Ma’ad: 5/728) .
Penulis cenderung mendukung pendapat yang membolehkan tetapi dengan syarat
bahwa penjual dan pembeli sama- sama mempunyai ilmu tentang barang-barang yang
dijual tersebut, seperti apabila keduanya adalah petani yang mengetahui
kwalitas wortel, bawang, kentang yang berada di dalam tanah dengan melihat
kwalitas daunnya atau batangnya atau dengan cara yang lain. Ini seperti halnya
seorang laki-laki yang melamar seorang perempuan dengan hanya melihat wajah dan
kedua telapak tangannya. Walaupun ini masuk dalam katagori gharar, karena laki-laki
yang melamar tidak melihat anggota badan yang tertutup dari perempuan yang
dilamar, tetapi paling tidak, wajah dan kedua telapak tangan, biasanya sudah
mewakili apa yang tertutup dan tidak bisa dilihat.
BAB III
PENUTUP
D. ANALISIS
Pada dasarnya dalam transaksi muamalah jual
beli hukumya boleh (mubah) kecuali ada dalil yang mengharamkannya,sebagaimana
yang telah disepakati oleh mayoritas ulama fiqih mereka dengan menetapkan
sebuah kaidah fiqhiyah, namun pada jual beli gharar terdapat dalil yang
mengharamkan jual beli gharar karena jual beli tersebut mengandung unsur
ketidakpastian yang melibatkan kedua belah pihak.
Jual Beli
Gharar atau dalam Ilmu Ekonomi dikenal dengan ketidakpastian atau resiko
dalam istilah Fiqh Muamalah adalah melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa
pengetahuan yang mencukupi, atau mengambil resiko sendiri dari suatu perbuatan
yang mengandung resiko tanpa mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau
memasuki kancah resiko tanpa memikirkan konsekuensinya. Menurut Ibnu taimiyah,
gharar terjadi karena seseorang tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada
akhir suatu kegiatan jual beli dan terjadi karena adanya incomplete
information. Incomplete information tersebut dialami oleh kedua belah pihak.
Jual Beli gharar
dijelaskan dalam alquran pada surat Albaqarah ayat 188 yang artinya:
Dan janganlah
sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.
Sedangkan Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Abu Kuraib
menceritakan kepada kami, Abu Salamah mengabarkan kepada kami, dari Ubaidillah
bin Umar, dari Abu Zinad, dari A'raj dari Abu Hurairah RA, ia berkata,
"RasuluIIah SAW melarang jual-beli gharar dan hashaat."
Berdasarkan dalil diatas, telah jelas dijelaskan bahwa jual beli ghrara
dilarang, dan rasulullah sendiri pun melarang jual beli gharar tersebut. Secara
kajian ushul fiqih pun dijelaskan bahwa kemudhratan harus dihilangkan.
الضَرَرُيُزَالُ
Setiap perkara yang mendatangkan kemudharatan harus dihilangkan,
ketidak pastian mendatangkan kemudharatan dan kemashlahatan mendatangkan
manfaat. Begitupun dengan jual beli gharar, karena jual beli ini mengandung
unsur ketidakpastian dalam beberapa hal, Allah dan Rasul-Nya pun melarang jual
beli gharar dalam alquran dan hadits sebab jual beli tersebut dapat
menghilangkan keberkahan dan dapat menimbulkan banyak kerugian baik pihak
penjual maupun pembeli. Garis besarnya jual beli di bolehkan asal sesuai dengan
ketentuan syariat islam
DAFTAR PUSTAKA
Al-Farmawi, abd al-Hary. 1994. Metode Tafsir
Mawdhu’iy, sebuah pengantar. Jakarta: PT RajaGrafindo.
Al-khatan, Manna Khalil. 2004. Studi Ilmu-ilmu quran.
Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Azwar, Karim Adiwarman. 2012. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta:
PT Rajagrafindo Persada.
hafizasharf. Islamic muamalat. Tersedia di:
pondok ngaji online. Tersedia di:
http://pondokngajionline.blogspot.com/2013/03/tafsir-jalalain-surat-al-baqarah-ayat_27.html (online, dikutip tanggal 23 desember 2014)
Tafsir alquran al karim. Tafsir albaqarah ayat
188-195.tersedia di:
http://www.tafsir.web.id/2013/01/tafsir-al-baqarah-ayat-188-195.html (online,
dikutip tanggal 23 desember 2014)